Lazimnya, pondok pesantren merupakan wadah para santri laki-laki atau perempuan menimba ilmu agama Islam secara mendalam.
Namun Pondok Pesantren Waria Al-Fatah unik.
Pondok ini menjadi tempat perlindungan komunitas transpuan yang bermukim di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya, menyediakan ruang untuk belajar tentang Islam dan mengamalkannya di bawah bimbingan para ustadz dan ustadzah.
Meskipun tujuan utamanya ditujukan bagi kaum transpuan, Pondok Pesantren Waria Al-Fatah terbuka bagi seiapa saja yang ingin mempelajari Islam.
Pondok Pesantren Waria Al-Fatah didirikan pada tahun 2008 silam oleh mendiang Maryani, seorang transpuan asal Yogyakarta. Dibantu oleh Shinta Ratri(†), yang juga telah berpulang, Maryani memimpin pondok ini dengan tujuan menyediakan sarana bagi para kaum marjinal transpuan untuk bisa belajar mengenai agama Islam serta beribadah dengan tenang.
Di awal berdirinya, Pondok Pesantren Waria Al-Fatah memiliki kurang lebih 63 orang ‘santri’ transpuan. Mayoritas latar belakang pekerjaan mereka adalah pekerja seks komersial, pengamen jalanan, dan pemilik salon kecantikan.
Kini jumlah anggota pesantren ini berkurang menjadi sekitar 30 orang dan banyak di antara mereka yang berasal dari luar Jawa seperti Sumatra, Sulawesi, dan Bali. Setiap seminggu sekali mereka aktif mengadakan kegiatan pengajian bersama.
Dalam perjalanannya di tahun 2016, Pondok Pesantren Waria Al-Fatah sempat mendapat perlawanan dari organisasi massa radikal yang menamakan dirinya Front Pembela Islam (FPI).
Saat itu, massa dari FPI akan menggeruduk pondok dengan tujuan membubarkan kegiatan para santri ini dengan alasan kaum transpuan tidak memiliki hak untuk beribadah.
Namun, masyarakat di sekitar Pondok Pesantren Waria Al-Fatah yang memiliki hubungan harmonis dengan para anggota pondok bahu membahu menghadang massa tersebut.
Menyadari dampak positif dari kegiatan pesantren tersebut, warga setempat sering berpartisipasi dalam acara-acara yang diselenggarakan oleh Pondok Pesantren Waria Al-Fatah, untuk menumbuhkan rasa saling menghormati dan pengertian.
Nur Ayu, seorang anggota berusia 54 tahun yang telah menjadi anggota selama delapan tahun, kini menjadi pengelola dan peserta aktif di pesantren tersebut. Dikenal sebagai Mbak Nur, dia telah mengalami transformasi spiritual yang signifikan pada dirinya.
Nur Ayu, a transgender student who is a member of the Al-Fatah Transvestite Islamic Boarding School
“Dulu saya tidak tertarik sedikitpun belajar agama karena saya sering mendengar omongan-omongan orang yang menyebut saya laknatullah (orang-orang yang dijauhkan oleh Allah) karena saya waria,” ujarnya. “Jadi saya berpikir, percuma saja saya mengaji atau shalat kan saya dijauhi Allah.”
Namun, perlahan Mbak Nur mampu menepis perasaan tersebut berkat ketekunannya mencari jawaban lewat sang ustadz yang menjadi pembimbing di pondok pesantren kala itu.
“Ustdaz bilang, urusan ibadah itu adalah urusan antara kita dengan Tuhan karena Dia (memiliki) rahmatullah yang artinya Tuhan itu mencintai, menyayangi, dan menerima umatnya, siapapun dia,” kata Mbak Nur.
“Dan di pondok pesantren ini akhirnya saya tidak ragu untuk mengenakan mukenah ketika sholat karena saya merasa bahwa sejak lahir naluri saya adalah seorang perempuan meski secara fisik saya laki-laki.”
Di Pondok Pesantren Waria Al-Fatah, para santri diberi kebebasan untuk memilih apakah ingin mengenakan mukenah atau sarung ketika sholat.
“Yang penting nyaman buat yang menjalankan,” kata Mbak Nur. “Karena ketika kita merasa nyaman kita akan bisa khusyuk (merasa tenang di hati dan jiwa) pada saat kita shalat.”
Al Fatah Transgender Choir
“Sejak kecil saya sudah menunjukkan ketertarikan layaknya anak perempuan, begitu pun ketika dewasa saya hanya merasa tertarik kepada laki-laki,” ujarnya. “Ketika pada akhirnya saya berterus terang kepada keluarga, mereka bisa menerima saya. Warga di lingkungan tempat keluarga kami tinggal juga memperlakukan saya sebagai seorang perempuan.”
Mbak Nur berharap agar keberadaan para transpuan lain juga bisa diterima oleh keluarga mereka serta di dalam masyarakat.
“Menjadi waria itu bukan pilihan, bukan kehendaknya. Kalau disuruh memilih, tidak ada dari kami yang ingin menjalani hidup sebagai waria. Tapi ini sesuatu yang memang sudah diberikan atau given,” ujarnya.
Dalam doa-doa yang ia panjatkan sebagai seorang muslimah, Mbak Nur menyelipkan permohonan kepada Tuhan agar ia diberikan rejeki, rasa nyaman dan tenang dalam hidup, serta kedamaian.
Berkat ilmu agama yang dipelajari serta bimbingan rohani yang didapatkannya lewat Pondok Pesantren Waria Al-Fatah, Mbak Nur kini percaya bahwa dirinya bukanlah termasuk laknatullah melainkan seorang hamba yang diberi rahmatullah.
______
Ade Mardiyati