Beragam peristiwa politik yang terjadi di Indonesia belakangan ini mengundang banyak reaksi dari berbagai kalangan.
Tak terkecuali ribuan massa dari berbagai elemen masyarakat termasuk para buruh, mahasiswa, pekerja seni, dan aktivis yang menggelar aksi unjuk rasa di depan gedung parlemen DPR RI di Jakarta pada Kamis, 22 Agustus 2024 lalu hingga berakhir rusuh.
Para demonstran menentang rencana Badan Legislasi DPR RI dan pemerintah untuk melanjutkan pembahasan RUU Pilkada pada Rapat Paripurna di hari itu.
Pengesahan RUU Pilkada menjadi undang-undang disebut-sebut dikaitkan untuk memuluskan langkah putra ketiga Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, untuk maju dalam kontes pemilihan gubernur DKI Jakarta yang akan datang.
Putusan MK mempertegas syarat usia calon kepala daerah dihitung pada saat pasangan calon mendaftarkan diri, bukan pada saat pelantikan. Hal ini tertuang dalam Pasal 15 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 8 Tahun 2024:
“Berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak penetapan Pasangan Calon.”
A student gives a speech during a demonstration to reject the ratification of the Regional Head Election (Pilkada) Bill in front of the West Java DPRD Building in Bandung, Indonesia, on August 22, 2024. Source: NurPhoto / NurPhoto/NurPhoto via Getty Images
Usia Kaesang baru akan genap 30 tahun pada Desember 2024, atau empat bulan setelah dimulainya periode pendaftaran calon kepala daerah beserta wakilnya. Sehingga secara teknis, Kaesang tidak dapat maju ke kancah pemilihan gubernur karena belum memenuhi syarat batas usia.
Sejumlah masyarakat Indonesia yang bermukim di Australia memiliki pandangan tersendiri dalam menanggapi perkembangan demokrasi di tanah air, termasuk aksi unjuk rasa baru-baru ini.
Rizky Nur Aziz, warga Indonesia asal Bojonegoro, Jawa Timur, mengaku menjadi ragu untuk percaya kepada pemerintahan era Presiden Joko Widodo.
“Terlalu banyak peristiwa politik yang terjadi yang bikin orang bertanya-tanya,” ujar lelaki 28 tahun yang berprofesi sebagai chef di Karratha, Australia Barat.
Perempuan asal Blitar, Jawa Timur yang telah bermukim di Australia selama 10 tahun terakhir ini mengaku “tidak pernah percaya dengan pemerintah Indonesia sejak dulu.”
“Saya sejujurnya juga tidak pernah percaya dengan pemerintah Indonesia seratus persen,” ujar Nona yang bekerja sebagai Partner Relationship Manager di sebuah agen pendidikan di kota Sydney.
“Pada zaman reformasi dulu saya ada secercah harapan. Namun harapan itu makin menguap karena KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) itu udah kayak membudaya, susah hilangnya.”
Lain halnya dengan Raphaelino Hensy. Dirinya melihat banyaknya kemajuan di berbagai bidang sejak Indonesia berada di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
“Infrastruktur di Indonesia sudah jauh berkembang. Sudah banyak provinsi yang memiliki bandara Internasional,” ujar lelaki 49 tahun yang kini telah menjadi warga negara Australia.
“Saya masih ingin balik ke Indonesia karena saya merasa optimis dengan kemajuan Indonesia,” ujar Aziz. “Saya melihat semua peristiwa ini sebagai proses Indonesia maju ke depan.”
Nona yang kini telah menyandang status sebagai Permanent Resident Australia mengatakan ada yang selalu membuatnya rindu untuk kembali pulang ke Indonesia.
“Ada banyak orang baik, keluarga dekat, sahabat dan teman, yang tinggal di Indonesia yang bikin kangen selalu,” ujarnya.
Baginya, “Indonesia is its people, not its government.”
—--
Ade Mardiyati