Kontributor SBS Indonesian, Dina Indrasafitri mencoba mencari tahu faktor-faktor yang menyebabkan isu ini terjadi di Australia dan Indonesia.
Menurut laporan State of The Housing System Australia 2024 yang disusun oleh National Housing Affordability Council, tahun 2023 lalu tercatat sebagai titik terparah dalam perihal keterjangkauan harga rumah.
Total 13 persen rumah yang terjual di antara tahun 2022 dan tahun 2023 terbilang terjangkau bagi rumah tangga yang berpenghasilan sedang.
Pada tahun 1990an, sebuah rumah tangga Australia hanya butuh enam tahun untuk menabung demi uang muka tersebut. Sedangkan kini, waktu yang dibutuhkan menjadi dua belas tahun.
Menurut Matthew Bowes dari Grattan Institute, salah satu penyebab terbesar dalam ketidakterjangkauan harga rumah di Australia adalah kurangnya jumlah rumah yang tersedia.
Di Indonesia pun, banyak diberitakan soal harga rumah yang makin tidak terjangkau, terutama di kota-kota besar, bila dibandingkan dengan gaji rata-rata warga kota tersebut.
Menurut Dwiyanti Kusumaningrum, peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), tuntutan untuk memiliki rumah sendiri dan juga menaikkan daya beli sering disuarakan.
Namun kenyataannya harga rumah yang terjangkau dan lokasinya masuk akal untuk mereka yang bekerja di Jakarta sangat terpengaruh oleh harga tanah dan faktor ini di luar kendali para pembeli generasi muda.
Dwiyanti juga menjelaskan, bentuk bantuan yang sering diberikan pemerintah terkait perihal ketidakterjangkauan harga rumah pun terkadang kurang tepat sasaran.
Selain itu dia juga menambahkan, mereka yang bekerja di sektor informal pun mungkin akan kesulitan memenuhi syarat berpartisipasi dalam Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), dikarenakan mereka mungkin tidak bisa memenuhi dokumentasi seperti slip gaji.
Dengarkan setiap hari Senin, Rabu, Jumat dan Minggu jam 3 sore. Ikuti kami di dan , serta jangan lewatkan kami.