Bunyi Bunyi Tumbal diterjemahkan menjadi "perasaan sintetis untuk pengorbanan anonim," mengungkap kekacauan yang terjadi di tanah kelahiran produser tersebut di Indonesia selama penjajahan Belanda.
Pertunjukan Hulubalang berjudul Bunyi-Bunyi Tumbal itu ditayangkan di Trades Hall, Melbourne yang merupakan bagian dari Festival Now or Never.
Kasimyn sebagai Hulubalang dalam pertunjukannya bekerja sama dengan Brandon Tay, seniman asal Singapura yang menyumbangkan segi visual - yaitu animasi berbasis kecerdasan buatan yang terinspirasi foto-foto tanpa penduduk wilayah Indonesia yang diambil pada zaman penjajahan.
Proses pembuatan Bunyi-Bunyi Tumbal sudah berawal dari sekitar tahun 2013, saat Kasimyn mulai mengumpulkan arsip-arsip foto Indonesia dari Tropenmuseum, Belanda. Dari emosi yang Ia rasakan saat melihat dan mendalami arsip-arsip tersebut, Ia mencoba mensintesiskan bunyi-bunyi dengan menggunakan teknologi musik elektronik.
Mungkin beberapa dari kita pernah menari saat mendengarkan lagu sedih, teringat kisah cinta yang gagal, tetapi apakah aneh apabila kita menari saat menyaksikan suatu gambaran yang tragis tentang penderitaan?
Suara musik elektronik berat cenderung kaya distorsi yang dimainkan oleh Kasimyn sementara di layar lebar di depan dimainkan video yang menggambarkan wajah-wajah penduduk dengan karakter wajah indonesia yang juga kadang terdistorsi sehingga mengesankan rasa terkejut atau menderita.
Dalam keterangan festival pun, dijelaskan bahwa Bunyi-Bunyi Tumbal, baik secara audio maupun visual, terinspirasi oleh masa perang dan penjajahan Indonesia, terutama terinspirasi oleh foto-foto masyarakat biasa Indonesia di zaman penjajahan - foto-foto yang terpajang di museum tanpa keterangan tentang siapa nama mereka dan apa kisah-kisah pribadi mereka.
Now and Never - City of Mebourne
Penjelasan Kasimyn, sang maestro suara di balik karakter Hulubalang, mengenai hal ini telah membuka wawasan baru.
Salah satu pertanyaan mendasar yang ia ajukan adalah: 'Mengapa kita selalu mengasosiasikan musik dan tarian dengan kebahagiaan? Bukankah persepsi ini merupakan produk budaya Barat modern yang telah begitu mengakar dalam pemikiran kita?'"
“(Musik dansa itu] dirumuskan oleh Barat - bahwa itu dekat dengan hedonisme, dekat dengan leisure, dekat dengan senang-senang saja, terutama yang di club, sedangkan menurut saya, saya tidak melihat perbedaan antara hari kematian di Toba yang memakai tari dan kadang-kadang tertawa,” jelasnya.
Cukup meleset bila kita menggambarkan musik dalam Bunyi-Bunyi Tumbal sebagai proses dimana seseorang mengkombinasikan musik elektronik ala barat dengan lagu-lagu daerah Indonesia. Kalau contoh semacam itu, sudah banyak kita temui di musik-musik diskotik yang me-remix lagu daerah menjadi musik disko menghentak.
Kasimyn cenderung membongkar fondasi musik elektronik dan membangun ulang dengan menggunakan nafas musik -musik tradisional Indonesia. Dengan kata lain, bayangkan bila musik dansa yang kita tahu saat ini dari awalnya dibentuk tanpa prinsip musik Barat, seperti prinsip 12 nada, apa jadinya? Itu lah yang dicoba direka oleh Hulubalang.
Penjelasan Kasimyn, sang maestro suara di balik karakter Hulubalang, mengenai hal ini telah membuka wawasan baru.
Salah satu pertanyaan mendasar yang ia ajukan adalah: 'Mengapa kita selalu mengasosiasikan musik dan tarian dengan kebahagiaan? Bukankah persepsi ini merupakan produk budaya Barat modern yang telah begitu mengakar dalam pemikiran kita?
Dina Indrasafitri melaporkan untuk SBS Indonesian