Di lingkungan Muara Baru Jakarta Utara yang padat dan miskin, masyarakat membuat lelucon suram dari akronim kuncitara (penguncian sementara/lockdown) pemerintah Indonesia untuk memerangi pandemi virus corona: PPKM.
"Pelan Pelan Kita Mati," ujar Herdayati, seorang ibu enam anak berusia 48 tahun dan satu-satunya pencari nafkah untuk keluarga yang tinggal di gang sempit dan sesak, menjelaskan humor yang menyakitkan itu.
Lebih dari separuh penduduk Indonesia yang total berjumlah 270 juta jiwa menghabiskan kurang dari $60 USD per bulan, tingkat tertinggi kedua untuk orang-orang yang "rentan secara ekonomi" di dunia, menurut para ekonom.
Pandemi telah menjadi penurunan tajam menuju kemiskinan dan kelaparan bagi banyak dari mereka, kematian lambat yang dikemas dalam lelucon sinis Herdayati.
Gelombang kedua COVID-19 telah membanjiri sistem kesehatan Indonesia, dengan jumlah infeksi melonjak lima kali lipat dalam sebulan terakhir. Selama seminggu terakhir, rata-rata ada 49.435 kasus baru per hari di Indonesia, dan lebih dari 1.000 kematian per hari.Saat ini tidak ada tempat di dunia yang terkena pukulan lebih keras daripada Indonesia, meski para ahli mengatakan tingkat pengujian yang rendah berarti data resmi sangat tidak menggambarkan skala situasi dan jumlah korban.
Health workers carry a coffin of a COVID-19 victim in Jakarta Source: Sipa USA Agung Fatma Putra / SOPA Images/
Setiap harinya dua orang meninggal dengan gejala COVID-19 di Muara Baru, yang berpenduduk sekitar 6.000 jiwa, ujar Eny Rochayanti, koordinator Jaringan Masyarakat Miskin Kota, sebuah kelompok sukarelawan.
"Situasi ini menakutkan," katanya.
Pemerintah telah meredam dampak ekonomi dengan memberikan paket kesejahteraan bagi masyarakat miskin, yang tanpanya Bank Dunia mengatakan lima juta orang bisa jatuh di bawah garis kemiskinan Indonesia sebesar $32,59 USD per bulan tahun lalu.
Pemerintah juga memiliki rencana untuk memberikan hampir sebanyak 8.000 tempat tidur rumah sakit baru dan langkah-langkah untuk meningkatkan jumlah petugas kesehatan dan pasokan oksigen.
Pada hari Sabtu, menteri yang memimpin respon pandemi, Luhut Pandjaitan, mengakui dampak yang tidak proporsional bagi masyarakat miskin, meminta maaf "jika (kebijakan pemerintah) tidak optimal".
Indonesia mengalami urbanisasi besar-besaran dalam 20 tahun terakhir, tanpa menciptakan lapangan pekerjaan formal yang cukup untuk menopang arus masuk ke kota-kota besar, ujar Arief Anshory Yusuf, seorang ekonom.
Sementara itu, para ahli mengatakan, negara itu juga kurang berinvestasi dalam sistem kesehatan yang akhirnya sangat bergantung pada rumah sakit swasta yang tidak mampu dijangkau oleh masyarakat miskin.
“Orang-orang ini tinggal di lingkungan sempit dimana COVID menyebar dengan mudah,” kata Arief. "Isolasi hampir tidak mungkin dilakukan. Mereka tidak bisa mengakses rumah sakit. Mereka sangat rentan kehilangan pendapatan."
'Hancur'
Ikatan Dokter Indonesia mengatakan sistem kesehatan di Jawa, pulau terpadat di negara kepulauan itu, telah "secara fungsional telah runtuh", mendorong beberapa komunitas untuk bergerak sendiri untuk mendapatkan apa pun yang diperlukan untuk mengobati mereka yang sakit.
Di Panggungharjo, Yogyakarta, kepala desa Wahyudi mengoordinasikan tim relawan menggunakan media sosial dan aplikasi perpesanan untuk memburu tempat tidur rumah sakit, pasokan oksigen, dan obat-obatan yang sangat dibutuhkan.
Ketika tiga orang dari keluarga beranggotakan delapan orang yang tinggal di perumahan padat meninggal dalam kurun waktu 10 hari, Wahyudi dan timnya pergi mencari pengobatan untuk sang kepala keluarga, Muji.
“Apa pun yang terjadi, Pak Muji harus selamat,” kenangnya mengatakan kepada para relawan.
Ditolak enam rumah sakit, akhirnya mereka mendapat jaminan tempat tidur kosong untuk keesokan harinya. Tapi sebelum dia bisa sampai di sana, Muji meninggal dunia.
"Kami semua hancur," kata Wahyudi. Sekarang bergulat dengan 500 kasus aktif, ia mendirikan tempat penampungan sehingga orang yang terinfeksi dapat mengisolasi diri agar bencana tidak terulang.
Mereka yang memiliki uang, koneksi, dan keberuntungan memiliki harapan terbaik untuk mendapatkan bantuan medis, kata pihak berwenang, pekerja sosial, dan keluarga korban kepada Reuters.
Meski begitu, karena biasanya memakan waktu berhari-hari, pencarian seringkali berakhir tragis.
Bagi Irna Nurfendiani Putri, seorang profesional industri IT berusia 32 tahun, perburuan tempat tidur kosong di rumah sakit di Jakarta untuk saudara lelakinya Rachmat Bosscha, 44, hanya berhasil setelah keluarganya membawa tangki oksigen sendiri.
"Ada dua orang meninggal dalam selang waktu 30 menit," ujarnya. "Kemudian saudara laki-laki saya dipindahkan ke tempat tidur mereka."Dengan ruang perawatan intensif yang penuh dan persediaan oksigen rumah sakit yang terus habis, Irna berulang kali harus mengganti oksigen adiknya ke tangki oksigen portabel yang mereka bawa sendiri.
Workers in protective suits carry a coffin containing the body of a COVID-19 victim for a burial at a cemetery in Bogor, West Java, Indonesia, on 14 July, 2021. Source: AP
"Saya tidak bisa menyalahkan rumah sakit karena persediaan memang langka," katanya. "Tapi cukup mengerikan melihat saudara saya berjuang untuk bernapas."
Ketika diminta oleh staf rumah sakit untuk membeli enam botol remdesivir, obat yang menghambat virus SARS-CoV-2, keluarga itu berhasil menemukan dua, itu pun berkat sepupunya yang adalah seorang dokter.
"Saat itu kami masih berusaha mencari empat botol lainnya, tetapi pada pukul 10 pagi, rumah sakit menelepon ibu saya dan memberi tahu bahwa saudara laki-laki saya sudah meninggal."
‘Jangan sampai sakit’
Evi Mariani, penerbit sebuah situs web berita, juga mengalami cobaan berat selama seminggu ketika tingkat saturasi oksigen ayahnya yang terinfeksi COVID, Ijan Sofian, anjlok.
Butuh waktu lima hari bagi Ijan untuk dapat dibawa ke rumah sakit.
Ia meninggal dua hari kemudian.
"Saya harus mengakui bahwa kami mendapatkan kamar rumah sakit untuk ayah kami melalui jaringan kerabat yang sangat istimewa," katanya.
"Kami bukan orang kaya, tapi masih bisa mengusahakan melalui mekanisme pasar. Bagi orang miskin? Situasi ini jauh lebih menyedihkan karena mereka tidak punya uang dan tidak punya koneksi."
Dengan virus berada di udara di gang-gang sempit dan panas Muara Baru, Herdayati mengatakan dia hanya bisa mengindahkan nasihat tetangga yang penuh harapan: "Jangan sampai sakit, Bu, jangan sampai sakit."