'Tidak Lagi Dibungkam': Bagaimana Perupa Ini Ubah Trauma Masa Lalunya menjadi Karya Seni yang Hidup

Jayanto Tan - Finalist.jpg

Jayanto Tan's work as a Finalist North Sydney Art Prize 2022, Ritual Gathering Ceng Beng, North Sydney, 2022. Credit: Document Photography

Perupa Australia, Jayanto Tan, kini dapat mengatakan dengan lantang bahwa dia bangga dengan latar belakang campurannya. Dulu saat di Indonesia, ia ditindas karena terlahir sebagai orang Tionghoa.


Dibesarkan di Indonesia, seniman visual Jayanto Tan - lahir sebagai Tan Seng Lie pada tahun 1969 - harus mengganti namanya agar dapat diterima di sekolah dasar.

Ketika Suharto berkuasa pada tahun 1965 setelah terjadinya kudeta, ia memberlakukan sejumlah kebijakan yang mendiskriminasi etnis Tionghoa Indonesia yang telah tinggal di negara itu selama beberapa generasi.

"Saya tidak boleh di-spotlight di sekolah," ujar Jayanto.
Jayanto Tan - family photo.jpg
Jayanto Tan's family photo, Sembayang Ceng Beng (Tomb-Sweeping Day) Tebing Tinggi, 1977. Credit: Jayanto Tan
"Saya tidak boleh menaikkan bendera. Yang boleh hanya yang mayoritas saja,” kenang Jayanto, menambahkan bahwa penampilan fisik membuat dirinya terhitung sebagai minoritas.

“Saya dipanggil ‘Cina’, dipanggil ‘banci’".

Tetapi setelah lari ke Australia dua dasawarsa lalu, Jayanto telah memahat jati dirinya yang ‘asli’.
Jayanto Tan - virus exhibition.jpg
Jayanto Tan's 'Acute Actions: Responses to I am Not a Virus' Project Exhibition at 4A Centre for Contemporary Asian Art, Haymarket, Sydney, 2021. Credit: KAI-WASIKOWSKI
Dengarkan cerita selengkapnya di sini.
LISTEN TO
indonesian_301122_INDO LNY23 - Jayanto Tan.mp3 image

'Tidak Lagi Dibungkam': Bagaimana Perupa Ini Ubah Trauma Masa Lalunya menjadi Karya Seni yang Hidup

23:38

Dengarkan 
setiap hari Senin, Rabu, Jumat, dan Minggu jam 3 sore.
Ikuti kami di 
dan jangan lewatkan kami.

Share