Di Australia, misalnya, ada model yang disebut Co-op Housing, yaitu semacam sistem koperasi perumahan, dimana manajemen sejumlah properti ditangani oleh para penyewa melalui koperasi.
Properti-properti tersebut tidak harus merupakan satu gedung yang ditinggali bersama, melainkan bisa berbentuk hunian yang berjarak idealnya paling jauh 20 kilometer satu sama lain, jelas Liz Thomas, Managing Director Common Equity Housing, yang merupakan lembaga payung bagi koperasi-koperasi perumahan atau Housing Co-op di negara bagian Victoria.
Menurutnya, ada beberapa keuntungan menjadi bagian dari koperasi perumahan. Antara lain, hubungan antara penyewa dan koperasi lebih setara. Misalkan, properti tersebut tidak bisa sekonyong-konyong dijual tanpa ada negosiasi dengan pihak koperasi.
Timbal baliknya adalah, bila anda mau menyewa properti yang di bawah koperasi perumahan, maka anda harus, pertama, menjadi anggota koperasi, dan kedua harus aktif dalam keanggotaan anda, berarti anda mungkin harus ikut serta dalam berbagai rapat dan pertemuan koperasi, bahkan juga kegiatan mirip kerja bakti.
Di Victoria, terdapat sekitar 2 ribu properti yang ditangani oleh seratus koperasi dan rencananya akan dibentuk lebih banyak lagi koperasi, mengingat saat ini kurang dari satu persen perumahan di Australia memakai sistem ini.
Di Jakarta pun ada beberapa perumahan yang memakai sistem koperasi, seperti Kampung Susun Akuarium di Jakarta Utara.
Kampung ini sekilas mirip rumah susun dari jumlah lantainya, misalnya, atau dari penggunaan sistem blok. Namun, ada banyak perbedaan antara Kampung Susun Akuarium dengan rumah susun yang biasanya mengikuti formula pemerintah, seperti yang dijelaskan Elisa Sutanudjaja dari Rujak Centre for Urban Studies (RCUS), yang terlibat dalam proses advokasi, perancangan dan pembangunan kampung susun ini.
Kampung Susun Akuarium awalnya adalah kampung kota biasa yang terletak di daerah Penjaringan, tak jauh dari Pelabuhan Sunda Kelapa. Namun, pada tahun 2016, penduduk kampung tersebut mengalami penggusuran hingga sekitar 3,000 orang kehilangan tempat tinggal, cerita Elisa.
Kampung susu Akuarium Credit: Photo courtesy from Alvin Andrean
“Bagian dari advokasi mereka bersama adalah melakukan kontrak politik dengan salah satu kandidat gubernur pada saat itu, yaitu Anies Baswedan, yang ternyata menang Pilkada dan menjadi gubernur,” jelas Elisa.
Dari kontrak politik tersebut, Pemerintah Provinsi DKI harus melakukan community action planning di seluruh wilayah Jakarta dan sekaligus juga membangun kembali kampung-kampung yang sudah digusur paksa pada saat itu. Setidaknya ada tiga kampung susun yang terwujud termasuk Kampung Susun Akuarium.
“Ini sebenarnya karena melihat kegagalan rusunawa (rumah susun sederhana sewa) menjadi rumah bagi korban penggusuran. Jadi sebenarnya ada beberapa kajian yang intinya sama:
Setelah korban penggusuran dipindahkan ke rusunawa yang jauh dan juga karena desainnya dan berbagai macam hal lainnya korban penggusuran paksa itu jadi semakin miskin.
Selain itu mereka juga tidak diberi keleluasaan untuk melakukan kegiatan ekonomi informal yang tadinya menjadi bagian dari kegiatan mereka di kampung.”
Menurut Elisa, desain KSA diharapkan mampu mengakomodasi kegiatan ekonomi informal, seperti membuka warung atau toko-toko kecil.
Untuk tinggal di KSA, maka harus menjadi anggota koperasi kampung susun tersebut dan merupakan bagian dari komunitas yang tergusur.
Pembiayaan kampung susun ini agak unik, tambah Elisa, karena bukan berasal dari anggaran pembelanjaan negara, melainkan berasal dari mekanisme perizinan developer yang biasanya disebut mekanisme perizinan SP3L.
“SP3L itu sejenis izin di mana developer itu harus membangun hunian sosial bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan itu setara dengan 20 persen nilai proyek developer tersebut,” jelasnya.
Kampung Susun Akuarium sudah dua kali mengantarkan RCUS memenangkan penghargaan. Tahun 2024, mereka memenangkan Asia Pacific Innovation Award dfan Gold Medal dari World Habitat Award, terkait advokasi atas hunian layak di Jakarta.
“...Gold medal itu sebetulnya penghargaan tentang hak advokasi tentang hunian layak di jakarta. jadi sebenarnya dia nggak spesifik KSA melainkan bagaimana upaya kampung-kampung bangkit dari penggusuran paksa dan bisa mengusulkan dan mengaplikasikan solusi-solusi untuk pemenuhan hak atas hunian layak dan salah satunya yang menjadi contoh dalam award tersebut adalah KSA dan komunitas anak kali ciliwung yang melakukan penataan mandiri. award award itu kami bersama dengan JRMK dan UPC (Urban poor consortium-red),” jelas Elisa.
Elisa dan kawan-kawan juga sedang merampungkan proyek perumahan lain yang juga akan dijalankan dengan sistem koperasi. Tempat tinggal berbentuk flat ini berlokasi di tengah kota Jakarta, yaitu Dukuh Atas, yang sungguh strategis karena terhubung dengan enam fasilitas transportasi seperti MRT, bus Transjakarta dan LRT.
One of the alternative residences from the Nightingale Housing project - Anstey' Credit: Supplied: Nightingale Housing project
“Kami mengembangkan flat diatas tanah teman kami juga yang lalu mengajak enam keluarga lain untuk patungan lah istilahnya di tanah tersebut dan rujak menjadi salah satu penghuninya juga di lantai bawah dan sementara untuk lantai dua tiga empatnya untuk hunian.”
“Ini antitesis dari suburbanisasi di mana orang untuk mendapat hunian layak terpaksa tinggal jauh-jauh dari tempat kerja atau aktivitasnya dan akibatnya mereka harus commute yang jauh dan juga melawan anggapan bahwa tanah di tengah kota mahal. Ya, betul mahal tapi ada cara mengakali supaya dia menjadi sangat terjangkau. dan ini juga hanya bisa dicapai kalau seluruh penghuninya itu melakukannya secara kolektif. Uangnya patungan lalu, juga ada koperasi. Jadi kalau basisnya profit, ya nggak akan ketemu.”
Kembali ke Melbourne, ada sebuah organisasi yang mencoba menyediakan perumahan terjangkau berkualitas di tengah situasi yang sering disebut-sebut sebagai krisis perumahan.
Nama lembaga ini adalah Nightingale Housing.
Saat ini, Nightingale telah membangun 616 tempat tinggal di berbagai lokasi di Australia. Kebanyakan tempat tinggal tersebut merupakan unit dalam berbagai ukuran mulai dari bentuk studio atau teilhaus hingga unit tiga kamar. NIghtingale Housing juga berusaha untuk membangun properti yang ramah lingkungan dan meminimalisir penggunaan mobil pribadi di kalangan penghuninya.
Menurut Toby Dean, Executive Director Nightingale Housing, Sebagai lembaga not for profit, Nightingale Housing tidak membangun dan menjual properti berbasis keuntungan. Dengan kata lain, properti yang mereka bangun dijual dengan harga yang sekadar menutupi biaya yang dikeluarkan termasuk biaya arsitek dan bahan bangunan dan bunga yang harus mereka bayar ke bank sebagai modal awal pembangunan.
Sekitar 140 unit dari 616 yang telah dibangun dikhususkan untuk perumahan sosial dengan cara menjual unit-unit tersebut dengan harga terjangkau pada organisasi yang bergerak di bidang perumahan sosial atau komunitas, yang kemudian menyewakan unit-unit tersebut kepada anggota masyarakat yang membutuhkan bantuan lebih karena rentan akan menjadi tunawisma.
“Kami percaya bahwa industri properti residensial bisa membantu mengatasi ketidakadilan dan kerawanan dalam bidang perumahan,” jelas Toby.
Sepak terjang Nightingale dalam bidang properti memang terbilang unik dan memiliki tantangannya tersendiri, namun tidaklah mustahil untuk dijalankan, lanjutnya.